Minggu, 02 Mei 2010

Perjanjian Perkawinan

a. Perjanjian Kawin Di Luar Persekutuan Harta Benda (pasal 139 BW)
Sistematikanya :
1. Harus disebutkan tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun (menurut UU dan menurut ketentuan yang lain, dan harta masing2 menjadi milik masing2, baik yang dibawa maupun yang diperoleh dalam perkawinan)
2. Istri berhak mengurus hartanya sendiri, termasuk memungut hasilnya tanpa bantuan suaminya
3. Hutang masing2 menjadi tanggung jawab masing2
4. Biaya rumah tangga menjadi tanggungan suami
5. Alat rumah tangga merupakan milik istri
6. Pakaian, perhiasan, buku-buku, dan alat2 yang berkenaan/terkait dengan pekerjaannya atau keahliannya milik pihak yang menggunakan
7. Barang bergerak, di dapat karena hibah dan di bawa sebelum perkawinan, harus dibuktikan asal-usulnya

b. Perjanjian Kawin Hasil Dan Pendapatan (Pasal 164 BW)
Hanya diperjanjikan adanya persekutuan hasil dan pendapatan saja sedangkan lainnya tetap harta gono-gini.
Inti dari perjanjian kawin persekutuan hasil dan pendapatan :
1. Akan terdapat persekutuan hasil dan pendapatan
2. Apa yang dimaksud dengan keuntungan
3. Apa yang termasuk beban
4. Jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta yang sebenarnya tidak termasuk persekutuan
5. Jika suatu barang yang dibawa dalam atau diperoleh selama perkawinan oleh salah seorang suami atau istri tidak terdapat lagi
6. Istri akan mengurus hartanya sendiri, ia akan menyerahkan penghasilannya kepada suami
7. Pakaian dan perhiasan pada waktu perkawinan berakhir
8. Daftar yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan

c. Perjanjian Kawin Untung dan Rugi ( pasal 155-166 BW)
Menurut pasal 144 BW, ketiadaan persatuan harta kekayaan menurut UU tidak berarti tidak adanya persatuan untung dan rugi, kecuali jika ini pun diperjanjikan ( dengan tegas ditiadakan).
Persekutuan untung dan rugi dapat terjadi jika :
1. Bilamana secara khusus diperjanjikan dalam perjanjian kawin
2. Bilaman dalam suatu perjanjian kawin diluar persekutuan harta tidak secara tegas dikecualikan untung dan rugi (pasal 141 (1) BW)
Dalam perjanjian kawin ini yang diperjanjikan hanyalah adanya persekutuan untung dan rugi saja, suami istri adalah tetap pemilik dari barang bawaan masing2 dan juga barang2 diperoleh selama perkawinan, tetapi barang2 milik istri di urus oleh suami sebagai kepala rumah tangga, kecuali diadakan perjanian yang menyimpang (pasal 140 (3))
Yang diatur dalam persekutuan untung dan rugi :
1. Harta milik suami
2. Harta milik istri
3. Harta yang merupakan persekutuan
Menurut pasal 150 BW, jika suami atau istri mendapat keuntungan atau kerugian, maka akan ditanggung oleh mereka berdua dalam bagian yang sama besar, tapi dengan adanya perjanjian ini, maka yang mendapata keuntungan atau menanggung kerugian adalah mereka yang bertindak (melakukan kegiatan sehingga memperoleh keuntungan/menderita kerugian).
KEUNTUNGAN adalah : pada umumnya setiap pertambahan harta kekayaan mereka sepanjang perkawinan, kecuali UU menetapkan lain (pasal 157 BW).
- Pasal 158-162 menetapkan apa saja yang tidak termasuk keuntungan. Dalam pasal tersebut belum ditentukan apakah “nasib baik atau kebetulan” termasuk dalam keuntungan. Agar tidak menimbulkan berbagai interpretasi maka dalam pasal perjanjian kawin ditegaskan bahwa hal terssebut juga termasuk keuntungan
KERUGIAN adalah : tiap2 berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan karena pengeluaran yang melampau pendapatan (pasal 157 BW)
SISTEMATIKA PERJANJIAN KAWIN UNTUNG DAN RUGI :
1. Akan terdapat persekutuan untung rugi
2. Tentang pengeluaran rumah tangga dan beban lain berkenaan dengan perkawinan dan pendidikan anak. Dalam BW diatur bahwa pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan oleh istri dianggap dilakukan dengan persetujuan suami.
3. apa saja yang termasuk dalam keuntungan
4. apa saja yang dinamakan kerugian
5. jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta yang sebenarnya tidak termasuk dalam persekutuan
6. jika ada barang yang di bawa dalam atau diperoleh dalam/selama perkawinan tetapi tidak terdapat lagi/tidak ada lagi/hilang/musnah pada waktu perkawinan berakhi/bubar
7. pengurusan harta oleh suami :
a. bila ada barang pribadi milik istri yang tidak ada lagi
b. bila barang istri tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk membayar pengeluaran persekutuan
c. bila pengurusan harta tersebut tidak dilakukan dengan baik.
8. Pakaian dan perhiasan badan
9. Barang bergerak yang selama perkawinan diperoleh salah seorang suami istri karena warisan, karena legaat, akrena hibah maka harus ternyata dalam surat2 yang jelas. Jika tidak jelas maka :
a. Suami tidak berhak mengambil sebagai miliknya
b. Istri dapat membuktikan dengan segala cara bahwa barang tersebut adalah miliknya
Jika tidak terdapat bukti maka barang tersebut harus dibagi rata.
10. Bila tidak secara tegas diatur dan terdapat keraguan :
a. Keuntungan/kerugian masuk harta persatuan
b. Daftar dan nilai barang2 yang dibawa masing2
c. Kapan perkawinan tersebut akan dilaksanakan
d. Perjanjian Kawin Di Luar Persekutuan dengan Bersyarat
Dalam hal diperjanjikan, bila suami hidup lebih lama dari istri, maka tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun juga. Tetapi kalau istri yang hidup lebih lama dari suami maka terdapat persekutuan hasil dan pendapatan.
Perjanjian kawin persatuan harta tetapi diperjanjikan pasal 140 (2) BW
Dalam hal ini, walaupun telah berlaku persatuan harta menurut UU, tetapi jika si istri selama perkawinan mendapat harta yang menurut keterangan pemberi hibah akan jatuh diluar persekutuan harta yang terjadi karena perkawinan, istri akan berhak mengurus sendiri harta tersebut dan akan bebas memungut hasilnya, dan pemberi hibah harus hadir.
e. Perubahan Perjanjian Kawin
Tidak memungkinkan perjanjian kawin untuk dibatalkan, tapi memungkinkan untuk diubah.
f. Pemisahan Harta Kekayaan (pasal 186-195 BW)
Sepanjang perkawinan, istri berhak mengajukan tuntutan akan pemisahan harta kekayaan (pasal 168 BW). Dalam satu bulan setelah putusan hakim memperoleh kekuatan mutlak, diadakan pemisahan harta (harus dengan harta otentik)
g. Pemulihan Kembali Persekutuan (pasal 196-198 BW)
Persatuan harta kekayaan setelah dibubarkan karena adanya pemisahan harta kekayaan, boleh dipulihkan kembali dengan persetujuan suami-istri dan harus dengan akta otentik (pasal 196 BW)
Setelah pemulihan kembali, maka segala urusan dipulangkan kembali dalam keadaan sediakala, seolah-olah tidak pernah ada pemisahan (pasal 197 BW)
Pemulihan kembali harus diumumkan, dan selama pengumuman belum dilakukan, suami istri tidak boleh menonjolkan akibat-akibat pemulihan itu terhadap pihak ketiga (pasal 198 BW)
h. Perpisahan Meja dan Ranjang ( pasal 233-249 BW)
Sebelum meminta perpisahan meja dan ranjang, suami istri wajib, dengan akta otentik mengatur syarat2 perpisahan itu baik terhadap diri mereka sendiri maupun mengenai kekuasaan orang tua dan usaha pemeliharaan/pendidikan anak2 mereka.
Akibat dari perpisahan meja dan ranjang :
1. Suami dan istri dibebaskan dari kewajiban berdiam bersama (pasal 242 BW)
2. Persekutuan menjadi bubar dan diadakan pemisahan dan pembagian harta (pasal 243 BW)
3. Pengurusan oleh suami dipertangguhkan (pasal 244 BW)
i. Pengakuan sahnya Anak
Diatur dalam pasal 280-284 BW, Pasal 43 UU No. 1/74
Pada BW (pasal 280) anak yang lahir di luar perkawinan (ALK) baru mempunya hubungan perdata dengan bapaknya atau ibunya setelah adanya pengakuan.
Hal ini bertentangan dengan UU no.1/74, di mana pada pasal 43 (1), tanpa pengakuan seorang anak luar kawin sudah memiliki hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Cara melakukan pengakuan anak luar kawin:
1. Pengakuan dilakukan dalam akta kelahiran anak
2. Pengakuan pada waktu perkawinan berlangsung
3. Pengakuan dengan dibuatnya akta otentik
Pengakuan anak luar kawin oleh ayahnya harus dengan persetujuan ibunya (pasal 284 BW) !!
j. Pengakuan Anak Oleh Ibunya (pasal 280 BW)
Pada waktu anak tersebut dilahirkan diluar perkawinan, memang sudah didaftarkan pada kantor Catatan sipil dan diterima surat lahirnya sebagai anak yang lahir diluar perkawinan, dengan demikian belum ada hubungan perdata dengan ibunya.
Kemudian setelah ibunya mengakui sah anaknya tersebut dengan akta notaries, maka didaftarkan lagi di Kantor Catatan Sipil untuk dicatat lagi pada daftar kelahiran. Dengan pengakuan ini timbullah hubungan perdata dengan ibunya (pasal 280 BW)
Dalam pembuatan aktanya harus digunakan istilah Wanita, karena kedudukannya yang sulit, tidak tepat jika dikatakan Nyonya ataupun Nona.
k. Pengakuan Anak Oleh Ayahnya
l. Pengingkaran Sahnya Anak (pasal 251-260 BW, Pasal 44 UU No.1/74)
Keabsahan seorang anak dapat diingkari oleh ayahnya, hal ini juga diatur dalam pasal 44 UU No. 1/74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar